JEMPARINGAN JADI ASET WISATA GEDONGKIWO
GEDONGKIWO(20/5/22) Saat ini jemparingan menjadi salah satu olahraga tradisional yang tumbuh dan berkembang di kalangan generasi muda. Banyak anak muda yang tertarik dan menggeluti jemparingan. Salah satunya Sanggar Jemparingan Honocoro yang berada di Kampung Gedongkiwo yang didirikan oleh anak muda yang akrab disapa Ki Surjan Lurik.
Ditemui disela-sela gladen jemparingan, Ki Surjan Lurik menuturkan Sanggar Honocoro berdiri sejak 21 Juni 2018. Selama ini mereka menggelar latihan di nDalem Condronegaran pada hari Rabu, Kamis, Jumat setiap sore dan khusus Minggu dari pagi sampai sore.
Dalam jemparingan dikenal istilah gladen ageng yakni peserta 300 orang, gladen alit selapanan dengan peserta 50 orang, gladen satria alit peserta anak TK-SD, gladen satria ageng peserta dari remaja usia SMP sampai lansia (di atas 50 tahun) dan jemparingan pasutri untuk suami istri.
"Selain latihan rutin Sanggar Honocoro juga membuka kursus jemparingan, bahkan bulan lalu kami memprivat seorang warga negara Kanada dalam kursus singkat sehari. Ke depan kami berharap bisa menjadi salah satu ikon wisata di Gedongkiwo dan sanggar ini bisa menjadi sekolah khusus jemparingan," kata Ki Surjan Lurik.
Ditemui secara terpisah, Lurah Gedongkiwo Supriyono menyampaikan Pemkot Yogyakarta mendukung dan siap mengembangkan jemparingan menjadi bagian dari pengembangan desa budaya dan kampung wisata melalui fasilitasi kegiatan. Selain itu, pihaknya juga melakukan pembinaan atlet jemparingan di wilayah secara terukur dan berkesinambungan.
Seperti diketahui pengetahuan dan ketrampilan memanah sudah ada sejak zaman nenek moyang, di mana panah merupakan salah satu dari senjata tradisional yang dikembangkan di Indonesia. Di era Sri Sultan Hamengku Buwono I membawa ketrampilan memanah ke dalam Kraton yang dikembangkan tidak hanya sebagai ketrampilan dalam berperang namun dimasukkan dalam pendidikan guna membentuk karakter ksatria yang kemudian dikenal dengan nama Jemparingan Gaya Mataram Yogyakarta.
Jemparingan ini dilakukan dengan posisi duduk bersila dan berpakaian tradisonal dengan sasaran berupa bandul (wong-wongan) yang berjarak sekitar 30 meter. Filosofi dalam jemparingan adalah pamenthanging gandewa pamenthenging cipto yang diartikan bahwa pemanah membidik sasarannya dengan menggunakan hati bukan mata. Hal ini untuk melatih mata hati sehingga pada saat beribadah hati akan tertaut dengan Tuhan Yang Maha Esa. (Warta.jogjakota.go.id; kolomnews.com)